Pemerintah Indonesia ikut mendukung pembentukan Badan Permanen Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal tingkat dunia pada konferensi di Kolombia.
Konferensi Para Pihak tentang Keanekaragaman Hayati ke-16 atau COP 16 CBD di Kota Cali, Kolombia, berakhir pada Sabtu (2/11) waktu Indonesia. Di hari terakhir konferensi yang dimulai sejak Senin (21/10) itu, pemerintah Indonesia ikut mendukung pembentukan Subsidiary Body on Article 8j atau Badan Permanen Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal tingkat dunia.
Secara garis besar, Article 8j terkait dengan penghormatan, perlindungan, dan pengakuan pengetahuan tradisional, inovasi dan praktik yang dilakukan masyarakat adat dalam mengatasi perubahan iklim yanng relevan dengan prinsip-prinsip konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati. Konferensi tersebut dihadiri delegasi dari 196 negara.
Usulan pembentukan Badan Permanen Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal tingkat dunia pertama kali tercetus di Bolivia pada 2016. Namun, negosiasi soal pembentukannya terhenti bertahun-tahun. Semula, kelompok kerja masyarakat adat dan komunitas lokal telah terbentuk secara informal dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hampir kurang lebih 20 tahun.
Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo mengatakan, jika Indonesia konsisten dengan politik luar negeri yang menyepakati pembentukan Badan Permanen Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal tingkat dunia, seharusnya juga segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.
“Namun apa yang disepakati Indonesia di COP 16 di Kolombia berbeda dengan realita, (di mana) masalah masyarakat adat tidak menjadi perhatian,” kata Kasmita kepada Alinea.id, Rabu (6/11).