Film ini mengantarkan pesan, horor mencekam tak melulu lahir dari penampakan setan. Namun, dari pikiran, hati, juga keluarga disfungsional.
Pernah nonton film “A Quiet Place” yang sempat meledak awal April lalu? Jika dalam film besutan John Krasinski itu, ambiens kengerian diciptakan dari latar hening, nyaris tanpa suara, maka berbeda dengan film “Hereditary” (2018). Film yang dibuat studio A24—inkubator film indie “Lady Bird”, “Moonlight”, “The Witch”- ini sengaja menciptakan teror dari berbagai gangguan psikologis para pemainnya. Mulai dari demensia, sleepwalking, psikosomatis, self injury, hingga delusi. Hasilnya?
Jangan ditanya, justru efek film ini langsung menghajar psikologis para pemirsanya, termasuk saya. Baru kali ini saya menyaksikan film horor luar negeri dan masih terbayang hingga tiga hari berselang. Padahal, lazimnya menonton film horor seperti “The Conjuring” (2013), “Annabele” (2014), “Insidious” (2010), pulang dari bioskop pun tak ada kesan yang laik diingat setelahnya.
Tak heran, jika saat diputar di Sundance Film Festival, Januari silam, film karya Ari Aster (“The Strange Thing About the Johnsons” (2011), “Munchausen” (2013)) langsung mencuri perhatian. The Guardian menyatakan, “Hereditary” berhasil melahirkan gaya baru film horor lewat penampilan aktor, yang psikotik sekaligus depresif. The New Yorker menyebut film ini sakit jiwa. Sementara berbagai situs agregator film, seperti Rotten Tomattoes dan IMDB mengapresiasinya dengan skor tinggi, sekitar 90%.
Ari Aster tak bermain-main dengan trik jump scare, yang lekat dengan musik menggelegar diikuti penampakan setan seram. Ia hanya mengandalkan suara saksofon gubahan Colin Stetson (“12 Years a Slave”), kedalaman naskah, performa akting mumpuni para pemain, dan sinematografi yang gila. Saking gilanya, penonton sekali waktu hanya akan melihat layar hitam tanpa gambar, atau penerangan cahaya super minim, ilusi penampakan, jenazah menghitam di atas loteng, hingga kepala menggelinding dipenuhi lalat.
Namun, tetap yang paling juara adalah cara pemain membangun tensi. Ditambah elemen kejut, yang membuat saya kecele mengenai siapa tokoh utamanya dan bagaimana akhir filmnya.