Sosial dan Gaya Hidup

Inside Out: Anak-anak tak terlahir untuk selalu bahagia

Inside out memberi pelajaran kepada orang tua bahwa sangat wajar anak-anak tidak selalu berada pada kondisi senang.

Sabtu, 18 Desember 2021 20:37

Animasi Inside Out produksi Pixar Animation Studio mengajarkan kepada orang tua bahwa anak-anak tidak diwajibkan selalu merasa bahagia. Seperti kehidupan Riley (Kaitlyn Dias) kecil yang lahir dari keluarga harmonis dengan hadiah kehidupan yang bahagia. Bersama ayah dan ibunya, Riley tak pernah mengenal marah, sedih, kecewa, dan muak. Dilihat dari sudut manapun Riley adalah anak yang sempurna, punya keluarga lengkap, teman-teman yang baik, dan lingkungan yang mendukungnya.

Kehidupan Riley kecil kemudian berubah ketika sang ayah harus memboyong keluarganya ke San Fransisco. Rumah baru Riley tak seindah sebelumnya. Dia tak lagi punya kamar sendiri dan keterlambatan pengiriman barang membuatnya harus tidur beralas lantai.

Masalah tak berhenti, Riley tak lagi suka sekolah karena tidak memiliki teman-teman yang mendukungnya. Hingga pada suatu waktu, Reley bingung pada perasaannya sendiri karena selama ini emosinya hanya dikendalikan oleh Joy (Amy Poehlar), sebuah rasa bahagia. Momentum kepindahan Riley ke San Fransisco dimanfaatkan oleh Anger (Lewis Black), Disgust (Mindy Kaling), dan Fear (Bill Hader). Sadness atau perasaan sedih berusaha menyentuh memori Riley dan mengubahnya menjadi anak yang murung. Ketika Joy ingin mengambil alih kekuasaan atas ingatan Riley, keduanya justru tersedot ke area memori jangka panjang. Keduanya perlu waktu kembali ke otak sementara Anger (marah), Disgust (muak), dan Fear (takut).

Inside out memberi pelajaran kepada orang tua bahwa sangat wajar anak-anak tidak selalu berada pada kondisi senang. Begitu pun dengan orang dewasa dalam menyikapi semua jenis emosinya. Sedih, marah, kecewa, perasaan berkonteks negatif tetap merupakan perasaan yang valid dan manusia cenderung mengingkarinya. Sayangnya, Inside out menggambarkan masing-masing emosi secara terpisah. Marah, Bahagia, Sedih, semuanya berebutan menguasai pikiran Riley. Padahal dua emosi atau lebih bisa dirasakan manusia dalam waktu bersamaan dan itu tidak digambarkan.

The Conversation menuliskan bahwa menjadi manusia yang selalu bahagia itu tidak perlu. Jennifer Hecht, seorang filsuf yang mempelajari sejarah kebahagiaan, menulis dalam bukunya The Happiness Myth bahwa manusia mengalami jenis kebahagiaan yang berbeda-beda, tapi tidak sepenuhnya saling melengkapi. Beberapa kebahagiaan bahkan bertentangan dengan kebahagiaan lainnya.

Nadia Lutfiana Mawarni Reporter
Satriani Ari Wulan Editor

Tag Terkait

Berita Terkait