Urban gardening tak sekadar menghasilkan pangan sendiri, namun belajar menjaga lingkungan dan memulai sistem masyarakat yang memanusiakan.
Upaya pencegahan penyebaran Covid-19 telah mengubah rutinitas kita dengan membiasakan diri untuk tetap di rumah saja. Akibatnya tak sedikit usaha rumah makan atau restoran tutup, baik yang di gerai maupun mal.
Selain itu, kebijakan pembatasan sosial juga membuat gerak para distributor dari petani ke pasar menjadi terbatas. Imbasnya, pangan yang dipanen petani selama pandemi pun tak tersalurkan. Tak hanya kalangan petani, masyarakat urban di perkotaan juga terkena imbasnya karena ketersediaan pangan menjadi terbatas.
Peneliti, musisi, dan pegiat urban gardening Rara Sekar, mengatakan, urban gardening menjadi alternatif selama di rumah saja. Menerapkan urban gardening dengan memanfaatkan lahan di rumah atau teknik penanaman yang vertikal, bisa menjadi alternatif untuk menghasilkan pangan secara mandiri.
Ia bercerita pengalamannya mengolah lahan depan rumahnya yang berukuran 4x4 meter menjadi kebun kecil.
"Kayak menjadi kebun kolektif. Siapa saja boleh menikmati, boleh makan. Kadang ada tetangga yang lewat dan suka tanya 'wah ini pohon kecipir, ya'," ujar Rara meniru pertanyaan tetangga rumahnya, saat menjadi salah satu pemantik dalam diskusi bertajuk "Zigzag: Bagaimana Berkontribusi Jaga Lingkungan Selama Masa Pandemi" yang diinisiasi oleh Yayasan Auriga Nusantara, KPK, Change.org, dan Tempo pada Rabu (3/6).