Nir adegan menggigit, naskah setengah hati, sebuah upaya pemenuhan janji penciptaan trilogi.
Saat Owen Grady (Chris Pratt) dan Claire Dearing (Bryce Dallas Howard) muncul perdana di “Jurassic World” (2015), mereka langsung mencuri perhatian. Sebuah usaha penyelamatan diri dari invasi dinosaurus hibrid Indominus Rex, yang dibalut love-hate relationship dari sosok “superhero badass” dan si anggun yang sanggup berlari dengan high hells di belantara hutan, rupanya cukup memikat. Apalagi film ini sukses mencuri nilai nostalgik dari sinema besutan Steven Spielberg, “Jurassic World” yang dibuat 25 tahun silam.
Pemasangan keduanya kembali di sekuel berikutnya, “Jurassic World: Fallen Kingdom” (2018) bisa jadi opsi menarik. Namun sayang, sutradara Colin Trevorrow lupa, selain romansa viewers darling, film yang sudah digarap berkali-kali tetap butuh sentuhan baru. Bukan berarti dialog-dialog pasangan ini tak saling mengisi dan membuat gemas, namun penikmat garis keras film bertema dinosaurus butuh hal lain.
Alih-alih menyajikannya, Colin hanya merepetisi film-film sebelumnya, lebih luas, film-film bertema animals action yang sarat dengan horor, teriakan ketakutan, dan katrastopi yang kadang tak masuk akal. Adegan pembuka yang mana raptor purba muncul dari semak-semak, memburu manusia di dekatnya, juga sangat sering dijumpai di film-film sebelumnya. Entah ingin mengukuhkan ini sebagai ciri khas, atau Colin habis akal mengeksplorasi kebaruan.
Secara umum, film ini berisi poin lawas: protagonis, antagonis, dan dinosaurus yang karut-marut lalu mengancam eksistensi manusia.
Cerita bermula dari kekacauan di Pulau Isla Nublar, habitat alami dinosaurus. Jika di sekuel perdana, kekacauan itu disebabkan karena manajemen yang centang perenang, lantaran banyak pengunjung berdatangan. Di film kedua, kekacauan habitat itu dilatarbelakangi oleh letusan gunung berapi di pulau ini.