Bissu ini tak hanya bisu, tapi juga terbelah secara gender, orientasi seksual dan sosial. Ia disekap lalu dipotong lidahnya.
Berapa banyak orang di Tanah Air berani menyuarakan keresahan yang bersumber dari bisik-bisik publik? Apalagi, jika temanya berkelindan dengan persoalan orientasi seksual. Di era di mana dunia dijejali kalangan moralis cum agamis, identitas dwi gender perempuan dan laki-laki adalah harga final. Jika ada yang mendaku sebagai liyan dari luar dua gender tersebut, maka stigmatisasi miring, cemooh, dan pengasingan bisa saja siap menanti.
Faktanya, di belahan Sulawesi Selatan sana, telah berabad-abad warga setempat diidentifikasi dalam lima gender. Bissu Saidi, dalam wawancara dengan Historia pada 2016 melukiskan keragaman gender di Kota Daeng tersebut, bak lima jari di tangannya.
Jempol itu, kata dia, adalah bura’ne (laki-laki), kelingking adalah makunrai (perempuan), telunjuk adalah calabai (waria), jari manis adalah calalai (tomboi), dan jari tengah untuk bissu. Bissu digadang-gadang menjadi pranata spiritual paling penting yang menghubungkan manusia dengan orang-orang langit. Mereka diberikan amanah menjaga arajang (pusaka kerajaan) dan dilindungi raja-raja saking istimewanya. Laiknya, calabai dan calalai, menjadi bissu yang minoritas, tak membuat mereka dipinggirkan sebagai kaum kelas dua.
Namun, romantisme bissu tak bertahan lama. Kehadiran Kristen dan Islam telah memaksa tiga gender itu menyingkir dari konstelasi publik. Bahkan, begitu Sulawesi Selatan membara lantaran Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) berkuasa, bissu menjadi salah satu golongan yang wajib ‘bertobat’. Lewat operasi taubat ini, mereka yang mengaku di luar gender perempuan dan laki-laki dikejar. Calalai dipaksa mengenakan baju perempuan, sedang calabai dan bissu harus berpakaian laiknya laki-laki.
Dalam perkembangannya di masa modern, keberadaan bissu sebagai gender kelima tak luput dari pandangan nyinyir masyarakat di luar Sulawesi Selatan, khususnya etnis Bugis. Sebagaimana gender yang berbeda lainnya, mereka disebut “sakit jiwa”, kendati Komisi Internasional tentang Hak Asasi LGBT (The International Gay and Lesbian Human Rights Commission (IGLHRC) PBB menyebut, mereka hanya varian biasa dari seksualitas dan sosial manusia.