Tak cuma menimbulkan trauma bagi individu yang mengalaminya, kekerasan pun terekam dalam tiga generasi.
Pada 1982, pemerintah Suriah mengepung Kota Hama. Serangan itu mengakibatkan kekerasan mengerikan dan kematian puluhan ribu orang, serta meninggalkan bekas trauma genetik yang dalam pada kehidupan para penyintas.
Puluhan tahun kemudian, saat negara itu dilanda perang saudara, memori pembantaian tersebut memicu perlawanan terhadap keluarga penguasa Assad. Di luar dampak politik dan sosialnya, kekerasan tersebut telah meninggalkan efek abadi di tempat yang tidak terduga, yakni DNA generasi mendatang.
Dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal Scientific Reports (Februari, 2025), para peneliti dari Universitas Florida, Universitas California, Universitas Yale, dan Universitas Hashemite menemukan, cucu-cucu perempuan yang hamil selama pengepungan Kota Hama menunjukkan tanda-tanda genetik dari peristiwa traumatis itu. Meski mereka sendiri tidak pernah mengalaminya.
Diwariskan melalui ibu mereka, jejak genetik ini memberi beberapa bukti pertama kalau trauma akibat kekerasan pada manusia dapat meninggalkan tanda-tanda biologis yang bertahan lintas generasi. Para peneliti menganalisis DNA yang dikumpulkan dari 48 keluarga Suriah dari tiga generasi.
Keluarga-keluarga ini termasuk nenek atau ibu yang saat hamil melarikan diri dari pengepungan dan pembantaian tahun 1982 di Hama atau juga pemberontakan bersenjata pada 2011.