Media sosial, beberapa tahun belakangan, memang menjadi tempat berbagi gerakan sosial yang efektif.
Sebelum aksi massa terjadi di sekitar kompleks Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (22/8), muncul kampanye masif di media sosial bertajuk “peringatan darurat”, yang bergambar garuda Pancasila dengan latar berwarna biru gelap.
Pemicunya adalah rencana DPR untuk mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) Pilkada, yang dinilai sebagai akal-akalan demi menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik dan gabungan partai politik, serta batasan usia minimal pencalonan kepala daerah.
Media sosial, beberapa tahun belakangan, memang menjadi tempat berbagi gerakan sosial yang efektif. Menurut asisten profesor psikologi di University of Louisiana, Manyu Li, dalam Psychology Today sifat anonimitas yang ditambahkan pada beberapa platform media sosial, semakin memungkinkan aktivisme untuk isu-isu sensitif, seperti politik dan kekerasan terhadap perempuan. Melalui media sosial sebagai sebuah komunitas, tulis Manyu Li, individu mengumpulkan banyak dukungan dari orang-orang yang memiliki kekhawatiran yang sama.
Di dalam situs web The University of Manchester seorang penulis, Ashley Collar, mengutip sosiolog Manuel Castells yang menyebut, aktivisme internet bertujuan untuk menghadirkan demokrasi sejati kepada masyarakat karena perlawanan menghadapi dominasi, pemberdayaan bereaksi terhadap ketidakberdayaan dan proyek-proyek alternatif menantang secara daring.
“Suara-suara yang diabaikan di ruang publik perkotaan diperkuat dan diangkat di podium daring, menyediakan gerakan sosial dengan kerangka kerja untuk mendunia,” tulis Collar.