Inner child tertanam dalam alam bawah sadar, yang seakan berwujud versi diri kecil dari orang tersebut.
Jika kita mengalami ledakan kemarahan yang mirip dengan tantrum. Merasa malu atau kesepian, seperti yang kita rasakan saat masih anak-anak. Atau ketika sedang stres, kita berubah suasana hati dengan cepat, mirip seorang anak menghadapi situasi yang tidak nyaman. Barangkali kita mengalami apa yang disebut inner child. Dalam bahasa psikologi, inner child disebut sebagai adverse childhood experiences (ACEs).
Konsep ini diperkenalkan pertama kali oleh psikolog Carl Jung. Inner child kita dapat memengaruhi banyak emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yurika Fauzia Wardhani mengatakan, inner child adalah pengalaman masa kecil yang terbawa hingga dewasa. Hal itu memengaruhi respons seseorang. Inner child tertanam dalam alam bawah sadar, yang seakan berwujud versi diri kecil dari orang tersebut.
Sayangnya, banyak orang yang tak menyadarinya karena merasa tidak ada kesalahan. Padahal, kondisi ini berkaitan dengan kondisi mental seseorang kelak. Yurika mencontohkan, yang paling sederhana adalah “balas dendam” masa kecil.
Fenomena terjadi karena seseorang sewaktu masih anak-anak tidak memiliki mainan atau sesuatu yang diidamkannya karena tidak mampu. Kemudian, saat sudah beranjak dewasa, memiliki penghasilan sendiri, mereka langsung berusaha mendapatkannya untuk membalaskan masa kecil yang dirasa kurang bahagia.