Pada area konsesi perusahaan, hanya 1% dari 240 titik sampel area konsesi yang kembali menjadi hutan, meski pernah terbakar dan mengalami kehilangan tutupan pohon.
Pemulihan lahan gambut di beberapa tempat di Indonesia berjalan tidak memuaskan. Lembaga Pantau Gambut mencatat, banyak infrastruktur restorasi gambut yang tak sesuai standar dan kembali menjadi hutan. Padahal, dari 3,8 juta hektare wilayah kesatuan hidrologis gambut (KHG), hanya 16% lahan gambut yang tidak terdegradasi.
Pemantauan restorasi gambut ini dilakukan pada KHG yang tersebar di Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Papua Barat. Lokasi studi dibedakan berdasarkan dua jenis, yakni area konsesi yang menjadi tanggung jawab perusahaan dan area non-konsesi yang menjadi kewajiban pemerintah untuk melakukan restorasi gambut.
Temuan dari studi investigasi restorasi gambut ini mencatat, 95% dari 289 titik sampel gambut non-konsesi di area restorasi pemerintah yang pernah terbakar dan kehilangan tutupan pohon, telah berubah menjadi perkebunan jenis tanaman lahan kering dan semak belukar. Sawit menjadi komoditas paling dominan.
Sedangkan pada area konsesi perusahaan, hanya 1% dari 240 titik sampel area konsesi yang kembali menjadi hutan, meski pernah terbakar dan mengalami kehilangan tutupan pohon. Ironisnya, kondisi tersebut terjadi di beberapa area perusahaan yang kerap memiliki masalah konflik sosial, seperti PT. Mayawana Persada di Kalimantan Barat dan PT. Bumi Mekar Hijau di Sumatera Selatan.
“Kewajiban pencegahan, penanganan saat kebakaran, hingga pemulihan area yang telah terbakar menjadi tanggung jawab pemerintah dan perusahaan, bukan malah dilimpahkan kepada masyarakat,” ucap Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana, seperti dikutip dari situs web Pantau Gambut.