Sosial dan Gaya Hidup

KPI berpotensi ‘mengganggu’ konten di ranah digital

Revisi UU Penyiaran mengundang kontroversi karena dianggap bakal mengancam kebebasan pers dan membatasi keberagaman konten di media digital.

Selasa, 28 Mei 2024 15:36

Pada Senin (27/5), beberapa wartawan dan pegiat media yang mengatasnamakan “Koalisi Jurnalis, Pers Mahasiswa, dan Organisasi Pro Demokrasi Tolak RUU Penyiaran” melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta. Mereka menolak revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Mereka menilai, tak hanya jurnalis yang bakal terdampak revisi UU Penyiaran, tetapi juga konten kreator media sosial.

Aturan dalam revisi UU Penyiaran mengundang kontroversi karena dianggap bakal mengancam kebebasan pers, membatasi informasi publik, serta membatasi keberagaman konten di media digital. Hal itu terjadi usai DPR menyatakan akan memasukkan beberapa aturan yang dinilai problematik.

Salah satunya pasal 1 ayat (9) dan pasal 17 yang membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memperoleh kewenangan lebih luas dalam mengawasi ruang digital. Padahal, sebelumnya KPI hanya mengawasi televisi dan radio. Pasal tersebut tak hanya berpotensi mengekang jurnalis, tetapi juga kreator konten dan pekerja seni lantaran KPI bakal mendapat wewenang tambahan dalam menentukan kelayakan konten di platform digital.

Lalu, ada pasal 34F ayat (2) mengatur, penyelenggara platfrom digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lainnya, wajib melakukan verifikasi konten siaran ke KPI, sesuai pedoman perilaku penyiaran (P3) dan standar isi siaran (SIS). Artinya, kreator konten yang punya dan menjalankan akun YouTube atau TikTok juga masuk dalam ranah revisi UU Penyiaran.

“Jujur, saya merasa sebagai kreator konten makin dikekang sih. Saya mau apa-apa kesannya enggak boleh,” ujar Angelika Saraswati, salah seorang kreator konten TikTok kepada Alinea.id, Senin (27/5).

Stephanus Aria Reporter
Fandy Hutari Editor

Tag Terkait

Berita Terkait