Seseorang mendengar, tetapi pura-pura tidak mendengar untuk menghindari tugas yang diberikan.
Di dalam surat kabar De Koerier, 8 April 1939, seorang perempuan Belanda mencurahkan isi hatinya terhadap pelayan-pelayannya yang tiba-tiba “kehilangan pendengaran”. Misalnya, dia memanggil seorang pembantunya di rumah untuk membantunya di dapur, dengan suara yang keras.
Lalu, saat meminta seorang pelayannya yang lain bernama Sarimin untuk mengeluarkan lemari makan dan membersihkannya, pelayannya dari pagi hingga siang belum melakukan perintah sang nyonya.
Kemudian, ketika meminta seorang penjahit pakaian keluarganya untuk memperbaiki celana anak laki-lakinya malah rusak. Padahal, dia sudah memberikan arahan kepada penjahit itu, sebelum pergi meninggalkan rumah untuk beraktivitas sebentar. Penjahit itu pun baru mengerjakannya usai perempuan Belanda tersebut sampai di rumah dan beralasan tidak mendengar nasihat sang nyonya.
Dalam masalah agama, dia juga mengatakan, orang-orang pribumi tidak pernah mendengarkan nasihat yang tulus dari pendeta. Maka, dia menyimpulkan, penduduk asli Hindia Timur mayoritas oost-indisch doof.
“Nasihat dan teguran dari para petinggi (majikan) dan pendeta diabaikan, orang berpura-pura menjadi tuli di Hindia Timur,” tulis perempuan Belanda itu.