"Jakarta adalah kota yang paling mungkin dibayangkan seorang penulis untuk lekas jadi pusat perhatian," kata Mahfud.
Barangkali dalam pandangan kebanyakan penulis novel saat menulis karyanya, kota lebih seksi daripada desa. Pandangan tersebut disampaikan penulis novel Dawuk (2013) Mahfud Ikhwan dalam diskusi “01 Rural Urban 4.0” di Beranda Rakyat Garuda, Pinang Ranti, Jakarta Timur, Sabtu (27/4).
"Jakarta adalah kota yang paling mungkin dibayangkan seorang penulis untuk lekas jadi pusat perhatian," kata Mahfud.
Lebih lanjut, pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014 dan anugrah Sastra Khatulistiwa 2017 ini mengatakan, hal itu sebagai wujud ketimpangan antara kota dan desa. Di Jakarta, kata Mahfud, penulis lebih mudah mendapatkan label "penulis nasional", meski cap itu tak jelas artinya.
Menurut Mahfud, jalan kepenulisannya pun tak mulus. Novel pertamanya, Ulid Tak Ingin ke Malaysia (2009) merupakan bukti bahwa dedikasi dan kerja keras saja tak cukup menjadi penulis sukses. Mahfud percaya, pengalaman buruknya dengan proses penerbitan buku itu tak lepas dari faktor-faktor di luar teks.
“Karena saya tinggal di Yogyakarta dan tak bergaul dengan orang-orang berpengaruh di industri buku nasional,” ujarnya.