Adaptasi fisiologis yang luar biasa memungkinkan perempuan Tibet bereproduksi dengan baik di ketinggian.
Beberapa pendaki gunung, mungkin bakal terserang penyakit ketinggian, yang gejalanya sesak napas, mual, dan pusing, sebagai reaksi terhadap penurunan tekanan atmosfer yang signifikan—lebih sedikit oksigen yang dihirup setiap kali bernapas. Akan tetapi, di dataran tinggi Tibet yang memiliki kadar oksigen di udara jauh lebih rendah, manusia malah bisa melanjutkan keturunan dengan baik.
Sebuah penelitian baru yang dikerjakan para peneliti dari Case Western Reserve University dan George Mason University, terbit di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) (21 Oktober, 2024) mengungkap, adaptasi fisiologis yang luar biasa memungkinkan perempuan Tibet bereproduksi dengan baik di ketinggian—tempat kebanyakan orang bakal kesulitan bernapas. Penelitian ini memberikan gambaran menarik terkait evolusi manusia.
Para peneliti melakukan riset terhadap 417 perempuan Tibet berusia antara 46 dan 86 tahun yang tinggal di Upper Mustang, Nepal, pada ketinggian 12.000-14.000 kaki. Di ketinggian tersebut, udara hanya mengandung sekitar 40% oksigen.
Peserta penelitian memberi informasi tentang riwayat reproduksi mereka, termasuk jumlah kehamilan dan kelahiran. Selain itu, tim peneliti mengumpulkan data tentang fisiologi mereka, termasuk fungsi jantung, paru-paru, kadar oksigen, dan sampel genetik.
Tujuannya untuk melihat apakah ciri fisik tertentu—terutama yang terkait dengan pengiriman oksigen dan kesehatan kardiovaskular—berhubungan dengan jumlah anak yang dimiliki perempuan tersebut selama hidup mereka. Penelitian ini menggunakan statistik tradisional dan teknik modern, seperti pembelajaran mesin untuk menganalisis hubungan antara ciri-ciri ini dan keberhasilan reproduksi.