“Mereka kebanyakan meninggalkan tempat tinggal karena semua pelayanan dasar sulit diakses di sana."
Sebanyak 66 orang pekerja migran Indonesia asal Nusa Tenggara Timur (NTT), meninggal dunia di luar negeri, dalam rentang waktu tujuh bulan belakangan. Mirisnya, dikutip dari Kompas.com, Kepala Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT Suratmi Hamida menjelaskan, dari 66 pekerja migran tersebut, hanya seorang yang bekerja di Taiwan memenuhi dokumen lengkap atau prosedural. Lainnya, yang bekerja di Malaysia, non-prosedural alias ilegal.
Kasus ini mengindikasikan perdagangan orang yang berulang di NTT. Berdasarkan data yang dihimpun Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada Maret 2024, ada 191 kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tahun 2019, 382 kasus pada 2020, dan 624 kasus pada 2021.
Temuan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) NTT, dalam enam bulan pada 2023, ada 185 orang pekerja migran asal NTT menjadi korban TPPO yang direkrut secara tidak prosedural.
Dikutip dari Antara, menurut Kepala DP3A NTT, Lien Adriany, Provinsi NTT menjadi daerah sumber korban TPPO dengan modus yang sering digunakan, yakni rayuan kata-kata bohong kepada orang tua dan RT/RW bahwa jika korban bekerja di luar negeri akan mendapatkan gaji yang besar. Dalam merekrut pekerja dilakukan lewat pemalsuan dokumen kependudukan dan para korban disekap di penampungan sementara selama berbulan-bulan.
Di samping itu, menurut data Polri, sepanjang 2023 ada 3.363 korban TPPO di Indonesia. NTT masuk dalam urutan keenam TPPO tertinggi, dengan jumlah 255 kasus, di bawah Sumatera Utara (379), Kepulauan Riau (366), Riau (334), Jawa Tengah (273), dan Kalimantan Barat (272).