BPJS Kesehatan berencana menerapkan cost sharing atau tarif degresif bagi peserta untuk menambal defisit.
Nasib peserta BPJS Kesehatan bakal terancam nelangsa bila skema kenaikan tarif atau cost sharing diberlakukan. Pasalnya, meski mengklaim aset neto BPJS Kesehatan masih sehat dan pihaknya lancar dalam membayar rumah sakit pada 2025, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyebut, ada risiko defisit. Pemakaian layanan BPJS yang semakin masif menjadi penyebab risiko defisit.
“Dulu hanya 252.000, sekarang 1,7 juta per hari. Semuan ini setahun bisa 606 juta lebih. Satu orang bisa lebih, setahun lebih dari sekali (pemakaian),” ujar Ali di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Rabu (13/11).
Maka, kenaikan iuran, kata Ali, merupakan salah satu dari sekian banyak cara untuk menjadi solusi, seperti yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan. Menurutnya, beleid itu menyebut, per dua tahun kenaikan iuran dibolehkan, tetapi perlu dievaluasi dahulu.
Solusi lainnya adalah cost sharing. Artinya, orang yang datang ke rumah sakit membayar sedikit. “Tujuannya ngurangin utilisasi dan ngumpulin duit. Artinya untuk rumah sakit,” kata Ali.
Ali memberi ilustrasi lansia yang semakin banyak dan kesepian. Menurut dia, daripada kebingungan, mereka bisa ke rumah sakit. Sebab, selain gratis, mereka bertemu dengan perawat yang membuat betah. Lalu, dalam solusi cost sharing, para lansia ini diminta membayar sedikit, misalnya Rp15.000 atau Rp20.000. Dia menilai, hal itu bakal membuat mereka berpikir kembali dan membatasi diri dalam penggunaan BPJS.