“Matilah engkau mati. Engkau akan lahir berkali-kali.” —Sang Penyair, dalam “Laut Bercerita”, hlm. 196.
Bagaimana meniupkan ruh dalam kata-kata yang mati? Jika pertanyaan itu disodorkan pada Seno Gumira, tentu ia akan menjawab, perkara itu alih-alih mudah, justru upaya paling rumit untuk meluapkan semua rasa. Namun jika Anda membaca karya fiksi, lalu merasa manunggal di dalamnya, tersentuh hingga hati seperti ditarik keluar, menangis meratapi kepiluan tokoh utama, atau tertawa cekikikan menikmati pengalaman seks yang malu-malu, berarti Anda tengah membaca karya yang baik.
Itulah yang saya rasakan kala melahap novel Leila Chudori “Laut Bercerita” (2017). Bagaimana tidak, sebagai hidangan pembuka, saya disuguhi memoar paling menusuk dari orang yang melayang sekian kilometer dalamnya, menjemput kematian di dasar laut.
“Dan akhirnya tubuhku berdebam melekat ke dasar laut, di antara karang dan rumput laut disaksikan serombongan ikan-ikan kecil yang tampaknya iba melihatku. Aku menyadari: aku telah mati. Tubuhku akan berada di dasar laut ini selama-lamanya, dan jiwaku melayang entah kemana.”
—Laut pada Asmara, dalam “Laut Bercerita”, hlm. 7
Sebuah cara yang edan untuk mengawali penyibakan pada agoni panjang yang menyelimuti tokoh Laut. Mati dengan keji: alat pemberat tergantung di kaki, badan penuh lebam dan amis darah kering, bekas gerigi sepatu tentara di punggung, lengkap dengan hati remuk.