Kuliner Indonesia beragam, tetapi hanya beberapa yang populer. Bagaimana cara makanan kita agar naik kelas?
Kuliner Indonesia yang beragam masih belum naik tingkat menjadi hidangan yang bernilai diplomatik. Sebab, strategi promosi dinilai kurang diminati kalangan diplomat dan pelaku industri wisata. Padahal, keragaman kuliner Nusantara tak hanya berkutat pada makanan populer, seperti rendang, bakso, sate, dan nasi goreng.
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azahari mengaku, strategi mempopulerkan kuliner sebagai alat relasi diplomasi atau gastrodiplomasi—diplomasi yang menggunakan makanan sebagai media untuk meningkatkan citra dan membentuk reputasi tertentu bagi sebuah negara dalam kancah internasional—dan pariwisata belum digarap serius oleh pemerintah. Padahal, selain unik, secara historis wilayah Nusantara memiliki warisan panjang terkait kuliner.
Salah satu buktinya adalah jalur rempah yang membentang dari Nusantara hingga Eropa, terbentuk secara berangsung-angsur dari masa prasejarah hingga kedatangan bangsa Eropa pada abad ke-15 dan 16.
Mengutip situs web Museum Nasional, kawasan Nusantara sudah sangat lama dikenal sebagai penghasil rempah dengan kualitas unggul, berharga mahal, dan sangat terkenal. Pada tahun 400, sastrawan India, Kalidasa, menyebut istilah Dvipantara sebagai kepulauan penghasil cengkih dalam kumpulan puisinya berjudul Raghuvamsa. Sejarawan meyakini Dvipantara adalah Nusantara.
Merujuk situs web Jalur Rempah Kemendikbud, jalur rempah adalah rute nenek moyang kita menjalin hubungan antarpulau, suku, dan bangsa, dengan membawa rempah sebagai nilai untuk menjalin persahabatan, kemudian membentuk asimilasi budaya dan diplomasi di setiap persinggahan.