Film “Marlina: Si Pembunuh dalam Empat Babak” (2017) sukses menelanjangi nilai-nilai patriarki, yang sukar tercerabut dari tanah Sumba.
Marlina (Marsha Timothy) tak pernah menyangka, hari itu kedatangan Markus (Egi Fedly) yang akan membawa petaka pada dirinya. Markus yang mulanya disangka datang sendiri ke rumah Marlina, ternyata diboncengi enam pria di belakangnya. Sebagian pria ditugaskan untuk merampas ternak, sisanya menunggu giliran untuk mencicipi tubuh janda dari pedalaman Sumba itu.
"Kau adalah perempuan paling berbahagia malam ini," ujar Markus atas urusan yang harus dijalani Marlina di atas ranjang.
Kala Marlina membantah Markus dengan mengklaim dirinya perempuan bernasib paling sial, Markus menimpali, "Ah, kau perempuan, sukanya menjadi korban."
Sebuah pernyataan yang langsung menohok, bahwa perempuan sudah selaiknya melayani laki-laki dan menikmati setiap persenggamaan. Tak peduli apakah ia mendambakannya atau tidak. Sama menyakitkannya mendapati kenyataan, perempuan harus menghidangkan masakan terbaik dan minuman hangat pada komplotan bandit tengik, yang terang-terangan mengaku akan memperkosanya.
Ini mengingatkan saya pada realitas di Indonesia, di mana perempuan dalam perkosaan--yang jelas menduduki posisi subordinat, namun tetap disalahkan. Pun dengan stigma kesuksesan perempuan yang hanya diukur dari prestasi mereka, mendapatkan atau didapatkan pria, seperti terhidang dalam berbagai iklan televisi.