Sepuluh seniman jalanan berkolaborasi meneriakkan ketidakadilan yang masih abadi di negeri ini. Mereka menuntut kesetaraan.
Seekor kucing raksasa duduk menenteng celengan. Persis di belakang kucing, kawanan anjing tampak semringah. Riang gembira menyantap aneka penganan. Persis di sebelah kanan, dibeber aneka branded item. Mulai makanan, minuman hingga fashion tersohor, simbol gaya hidup urban.
Ini adalah salah satu fragmen mural, hasil kolaborasi lima seniman jalanan (street artist) di salah satu tembok di Perumahan Alam Raya, Benda, Kota Tangerang, Banten, pada 8-10 November lalu. Mereka adalah Popo, Farhan Siki, Arman Jamparing, Edi Bonetski, dan Digie Sigit.
Popo, secara komikal membincangkan ihwal keberuntungan atau rezeki lewat figur kucing raksasa. Rezeki, keberuntungan, dan kesehatan adalah doa setiap warga. Akan tetapi, konsumerisme sebagai anak kandung kapitalisme global tak terelakkan menghimpit, membelah, dan menguras energi hidup warga lewat godaan gaya hidup urban. Farhan Siki memanggungkan hal itu.
Arman Jamparing menimpali dengan menghadirkan hiruk-pikuk dan chaos di dunia digital. Lewat teks "Gemuruh Dunia Kontemporer", teknik stencil dan wheat paste ia menyuguhkan aneka kenyataan hari-hari ini lewat gambar kepala lelaki dengan mata tertutup 'FACT' dan hiu ukuran kolosal.