Riset yang dilakukan Zoltan Fazekas dan Peter K. Hatemi menemukan korelasi antara narsistik dan partisipasi politik.
Di masa kampanye Pemilu 2024—bahkan beberapa bulan sebelumnya—area publik jadi ajang narsistik politisi dan calon anggota legislatif (caleg). Foto-foto berbagai gaya mereka terpampang lewat reklame, spanduk, poster, dan baliho berbagai ukuran di pinggiran jalan yang strategis, bahkan hingga gang-gang kecil. Itu belum termasuk iklan di televisi, media sosial, atau video di YouTube. Sedikit slogan terpampang, yang paling dominan justru wajah-wajah dengan berbagai ekspresi.
Menurut Psychology Today, narsistik ditandai dengan rasa mementingkan diri sendiri yang berlebihan, kurangnya empati terhadap orang lain, kekaguman yang berlebihan terhadap diri sendiri, serta keyakinan bahwa ia unik dan pantas mendapat perlakuan khusus.
Narsistik dan politik
Riset yang dilakukan Zoltan Fazekas dari Copenhagen Business School dan Peter K. Hatemi dari The Pennsylvania State University berjudul “Narcissism in Political Participation” di Personality and Social Psychology Bulletin (Juni, 2020) menemukan korelasi antara narsistik dan partisipasi politik. Mereka menyimpulkan, semakin narsis seseorang, semakin mungkin mereka menjadi politisi, menandatangani petisi, menyumbangkan uang, dan menjadi kontestan dalam pemilihan paruh waktu—pemilu di Amerika Serikat untuk memilih anggota kongres, parlemen negara bagian, dan beberapa gubernur.
“Bagi saya dan rekan saya, Zoltan Fazekas, sulit untuk mengabaikan narsistik yang meluap-luap pada pemimpin terpilih kita dan hasil keputusan mereka. Dan tampaknya, narsistik publik yang lebih tinggi memiliki peran dalam instabilitas demokrasi kita yang semakin meningkat,” kata Peter K. Hatemi kepada PsyPost.