Di tengah persoalan pekerja migran di NTT yang diperdaya mengarah ke perdagangan orang, pendeta Emmy turut mengadvokasinya.
Sosok pendeta Emmy Sahertian tak asing lagi bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Terutama perempuan mantan pekerja migran ilegal. Sudah lebih dari 10 tahun dia mengadvokasi perempuan NTT yang tersangkut kasus pekerja migran ilegal ulah sindikat perdagangan manusia.
Rata-rata korban sebagian besar pulang dari negara tujuan dengan kondisi tidak bernyawa. Realita ini membuat Emmy terus mendesak pemerintah pusat hingga level desa menyadari betapa masyarakat NTT hidup getir dalam pusaran perdagangan orang.
Bagaimana awal mula Anda terjun menangani perdagangan orang di NTT?
Awal mula terlibat menangani isu perdagangan orang di NTT, ketika tahun 2013 saya kembali bergabung dengan Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), di mana mulai santer kasus perekrutan, penyekapan, dan penyiksaan sejumlah anak perempuan di bawah umur, juga orang tua tunggal untuk bekerja di perusahaan sarang burung walet di Medan, Sumatera Utara. Sejak itu, saya dilibatkan dalam beberapa pelayanan penyambutan jenazah PMI (pekerja migran Indonesia) yang meninggal, baik di Hong Kong atau Malaysia.
Tahun 2016 saya kemudian menjadi Ketua Badan Pembantu Pelayanan (BPP) Advokasi Hukum dan Perdamaian Sinode GMIT hingga 2019, yang banyak menangani kasus umat sebagai korban perdagangan orang, bersama-sama dengan jaringan masyarakat sipil NTT yang peduli dan memang sudah cukup lama menangani kasus-kasus TPPO (tindak pidana perdagangan orang).