Menurut Kemenkes, strok menyebabkan 11,2% dari total kecacatan dan 18,5% dari total kematian.
Iskandar Dzulkarnain, warga Sumenep, Madura, Jawa Timur, memilih terapi untuk penyembuhan penyakit strok. Dia harus mondar-mandir ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumenep, setiap kali ingin terapi. Namun, di RSUD tersebut, dia harus rela antre karena penuh dengan pasien strok. Sebab, terapi itu tidak bisa dilakukan di puskesmas.
“Sudah sejak 1998, dari usia masih 18 tahun, saya sudah ada strok. Jadi, harus bolak-balik RSUD,” kata Iskandar kepada Alinea.id, Kamis (21/11).
Ketiadaan ahli terapi saraf untuk penderita strok di puskesmas, membuat penderitanya harus dirujuk ke rumah sakit. Hal serupa dialami Aswadi, 46 tahun, penderita strok asal Cipondoh, Tangerang, Banten. Dia harus terapi ke Rumah Sakit Hermina, Daan Mogot, Jakarta Barat jika ingin terapi penyembuhan penyakit strok.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyebut, penanganan penyakit yang memerlukan tenaga spesialis, seperti strok, pada tahap penanganan kuratif memang harus ilakukan di rumah sakit.
“Namun, jika untuk terapi, seharusnya bisa di puskesmas. Dari enam pilar transformasi kesehatan, salah satunya adalah layanan primer. Memang layanan primer ini harus diperkuat,” ujar Timboel, Kamis (21/11).