Bila tokoh publik memilih bercerai, hal ini bisa memberikan pesan bahwa perceraian adalah pilihan yang normal dan dapat diterima.
Faktor ekonomi sering menjadi pemicu masalah rumah tangga, bahkan hingga berujung perceraian. Namun, usai pandemi di mana perekonomian mulai bangkit, uniknya angka perceraian justru melonjak.
Statistik 2022 menggambarkan situasi yang mengerikan: 516.344 perceraian, naik 15% dari 447.743 kasus pada 2021. Satu dari empat perceraian disebabkan oleh isu-isu keuangan. Angka ini menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya memberikan manfaat untuk semua.
"Pasca pandemi, Indonesia menghadapi sebuah paradoks: perekonomian bangkit, namun angka perceraian meroket. Fenomena ini menyoroti sebuah kontras antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan hubungan rumah tangga. Walaupun ekonomi memperlihatkan pemulihan, bukan berarti semua keluarga merasakan keberuntungannya," Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Ekonom & CEO Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat.
Lebih lanjut menurut Achmad, tekanan ekonomi yang terus berlarut-larut memicu konflik dalam keluarga. Kesenjangan ekonomi yang jelas antara berbagai kelompok masyarakat memperparah situasi ini. "Meski ekonomi nasional menunjukkan potensi pertumbuhan, banyak keluarga yang masih merasakan ketidakstabilan ekonomi," katanya.
"Tantangan ekonomi yang dialami rumah tangga hanya sebagian dari masalahnya. Perubahan sosial, termasuk penelantaran, kekerasan dalam rumah tangga, dan poligami, menandai keretakan dalam norma-norma sosial kita. Akses mudah ke media sosial dan informasi seringkali mempengaruhi persepsi masyarakat tentang pernikahan dan komitmen," imbuh dia.