Sosial dan Gaya Hidup

Pertarungan kuasa di media massa dalam "The Post"

"Media haruslah melayani kepentingan masyarakat, bukan para penguasa," kata Hakim Agung AS, Hugo Black.

Senin, 19 Maret 2018 06:50

Mestinya tanggal 17 Juni 1971 menjadi hari paling melegakan untuk Katherine Graham. Pasalnya, perusahaan koran yang ia pimpin berhasil menggeliat, setelah melepas penjualan saham perdana (IPO), untuk menghalau kebangkrutan. Namun malam itu hatinya rusuh. Ia dihadapkan pada keputusan besar yang harus diambil oleh koran legasi mendiang suaminya. Keputusan itu terkait rencana menerbitkan cerita kebohongan pemerintah Amerika Serikat (AS) ihwal kebijakan Perang Vietnam, yang berlangsung hampir tiga dekade.

Usai suaminya mangkat, Graham memang mengambil alih kepemimpinan koran lokal The Washington Post yang dirintis keluarganya. Ambisi untuk menjaga integritas dan profesionalitas kerja media membuat ia harus mempertaruhkan relasinya dengan sejumlah pejabat tinggi di AS, termasuk Menteri Pertahanan AS, Robert McNamara.

Keputusan Graham di malam itu, selain akan mengorbankan hubungan baik dengan sahabat-sahabatnya yang prestisius, juga berpotensi menjeratnya ke meja hijau. Bila ia keok dalam pengadilan, itu berarti berita soal Pentagon Paper AS akan jadi edisi terakhir koran yang ia pimpin. Jika memutuskan untuk menahan diri tak menerbitkan berita itu pun, sama saja dengan pengingkaran atas profesionalitas dan integritas jurnalisme yang selama ini ia jaga.

Kendati mahal harga yang harus ia bayar, akhirnya Graham yang notabene adalah pemimpin media perempuan pertama, memutuskan untuk menerbitkan berita Pentagon Paper. Pilihan peraih Pulitzer inilah yang kemudian dipotret ulang oleh sutradara kawakan Steven Spielberg, dalam film “The Post” yang rilis Januari silam. Film ini berkisah pergulatan batin Graham (Meryl Streep) dan editor utama The Washington Post, Ben Bradlee (Tom Hanks), saat skandal dokumen kebohongan AS terkait Perang Vietnam menyeruak ke permukaan.

Seperti yang diduga, duet dua pemain kaliber dunia itu mampu membius pemirsa, sehingga meski film berdurasi panjang 116 menit, tak terasa membosankan. Apalagi didukung naskah berkualitas yang dibuat Hannah dan Josh Singer. Hannah pernah menulis memoar Graham, bertitel “Personal History” tahun lalu. Sementara rekannya, Singer, sudah punya jam terbang tinggi dengan menulis naskah film “The West Wing”, naskah film biografi Julian Assange “The Fifth Estate”, dan naskah film yang dianugerahi Oscar dua tahun lalu “The Spotlight”.

Purnama Ayu Rizky Reporter
Robi Ardianto Reporter
Purnama Ayu Rizky Editor

Tag Terkait

Berita Terkait