Penderita psikosomatik tidak sedang berpura-pura sakit. Gejala yang mereka rasakan ada di luar kontrol sadar, dan tidak dibuat-buat.
Rimma Anisa (27) kuat tiga hari tanpa makan. Ia merasa cukup menenggak air putih untuk melepas dahaga, sedang asupan makanan tak terlalu jadi soal buatnya. Sejak gagal dalam hubungan percintaan sepekan sebelumnya, ia memang mengaku lebih banyak fokus pada pekerjaan ketimbang diri sendiri.
“Saya lebih senang bekerja meski kadang pikiran soal mantan itu terasa sangat mengganggu. Saya sering sakit perut dan insomnia, tapi tiap kali ada niat mau makan, selera tiba-tiba hilang,” tuturnya pada Alinea akhir bulan lalu.
Rimma tak memungkiri, ini bukan kali perdana ia berada dalam kondisi itu. “Bertahun-tahun lalu sudah begini. Tiap stres, banyak pikiran, ngaruh ke lambung, pusing, dan jam tidur yang berubah total,” imbuhnya lagi. Ia bahkan pernah berniat bunuh diri suatu waktu. Berat badan pun menurut drastis. Sementara cekungan hitam bawah pelupuk matanya kian kentara.
Ia sendiri telah berulang kali memeriksakan kondisi tubuhnya ke dokter umum. Namun, dokter tak bisa menegakkan diagnosis apapun atas gejala sakit lambung dan imsomnia yang ia derita. Oleh dokter, Rimma justru diarahkan menyambangi psikolog atau psikiater. Ia ingat betul, dokternya bisik-bisik ke perawat saat itu, “Ini pasien sakit di pikiran, karena hasil pemeriksaan tekanan darah, detak jantung, semua normal.”
Rimma bingung. Ia pindah ke dokter lain, tapi hasilnya nihil. Ia merasa sakit betulan, tapi dokter tak kunjung bisa menemukan penyakitnya. Di tengah keputusasaannya, ia mendatangi psikolog bersama teman dekatnya. Di sana ia berbincang nyaris dua jam. Pada akhir sesi pertemuan, psikolog klinis yang ia temui, mendiagnosis Rimma mengalami psikosomatik. Pusatnya di pikiran. Sama seperti trauma dan emosi negatif lain, yang menyerang bagian otak subkortek dan alam bawah sadar.