Dalam sepekan terakhir, jumlah kicauan orang di twitter soal tren ‘keminggris’ anak Jaksel mencapai 1.090 buah.
Saya tak sengaja mendengar sekawanan anak SMA yang tengah berbincang soal film “Crazy Rich Asians” di sebuah pusat perbelanjaan di Kemang, Jakarta Selatan. “Gue suka banget, I mean like, itu kek best movie ever. Film itu literally jadi film favorit gue,” ujar salah satu di antara mereka.
Kawan di sampingnya menimpali, “Ya, gue keknya mau nonton lagi deh. Itu kek romantic banget enggak sih buat teenager kek kita.” Yang lain sibuk mengangguk, mengiyakan pendapat dua temannya sembari asyik utak-atik gawai di tangan.
Itu bukan kali pertama saya mendengar orang berbicara menggunakan bahasa gado-gado semacam ini. Awal bulan lalu, saya mewawancarai tiga orang untuk Alinea, dan mendapati gaya bicara mereka yang begitu luwes mencampur bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.
Iseng, dalam satu menit saya menghitung, seorang kawan bisa menggunakan kata 'which is' dua hingga tiga kali. Tak ketinggalan menambahnya dengan sejumlah slang, seperti ‘kek’, ‘yauda’, ‘keleus’, ‘yhaa’ (dengan huruf ‘h’, dan rima ‘a’ sengaja dilafalkan agak panjang). Menurut teman saya ini, cara berbicara yang semacam itu terbawa dari lingkungan pergaulan sehari-hari. Tak ada yang disengaja, ujarnya, memang sudah kebiasaan. Sehingga, bukan demi alasan menambah derajat kekerenan.
Tren ‘keminggris’ alias kecenderungan mencampuradukkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam lingustik ini, dengan segera jadi bahan olok-olok. Mereka yang disasar jadi objek perundungan adalah orang-orang yang tinggal di Jakarta Selatan (Jaksel). Padahal, tren ‘keminggris’ tak hanya dilakukan mereka yang tinggal di selatan Jakarta. Kalau kebetulan iseng ke café-café di Jakarta Pusat, seringkali kita akan mendapati orang berbahasa ‘keminggris’.