Stockholm syndrome adalah kondisi di mana korban malah simpati terhadap penculiknya.
Pada Sabtu (24/11) malam waktu setempat, seorang sandera kelompok militan Palestina, Hamas, Maya Regev tiba di dekat mobil Palang Merah yang akan membawanya keluar dari Gaza, Palestina. Tak ada rasa takut dari raut wajah perempuan asal Israel itu. Empat pejuang Hamas mengawal Maya yang berjalan tertatih menggunakan tongkat karena kakinya luka akibat luka tembak peluru nyasar ketika terjadi baku tembak antara tentara Israel dan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Sebelum masuk ke dalam mobil Palang Merah, salah seorang anggota Hamas mengucapkan perpisahan, “Bye Maya.” Lantas, dibalas Maya dengan mengucapkan terima kasih. “Bye, syukron (terima kasih),” ujar perempuan 21 tahun itu.
Maya kembali ke Israel setelah 50 hari disandera Hamas. Ia diculik saat menghadiri Festival Musik Supernova di Re’im, Israel bersama adik laki-lakinya, setelah serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober lalu. Menurut media Israel, Haaretz, Maya adalah satu dari 17 sandera—13 warga Israel dan empat warga Thailand—yang dibebaskan Hamas, dengan imbalan pembebasan sandera Palestina.
Tak munculnya raut wajah ketakutan, malah terekam kamera ia senyum, disebut-sebut Maya mengalami stockholm syndrome. Menurut profesor psikologi di North-West University, Llewellyn E. van Zyl dalam tulisannya di Psychology Today, stockholm syndrome adalah fenomena psikologis saat korban yang disandera malah bersimpati, afeksi, bahkan merasa kedekatan emosional terhadap pelakunya.
“Istilah ini pertama kali dicetuskan oleh psikiater Swedia, Nils Bejerot, pada 1973 setelah mengamati empat orang sandera dalam kasus perampokan bank di Stockholm (Swedia),” tulis van Zyl.