Beban itu pun mendorong Adriana dan Monic untuk membuat ‘CUYAM’ Papua sebagai produk tradisional yang dipasarkan secara komersial.
Fenomena pangan lokal dalam budaya generasi milenial rupanya tidak hanya tergerus karena lingkup perkotaan, namun hingga pedesaan. Sejumlah pangan lokal atau tradisional akhirnya masuk dalam tahapan untuk tergerus secara perlahan.
Beban itu pun mendorong Adriana dan Monic untuk membuat ‘CUYAM’ Papua sebagai produk tradisional yang dipasarkan secara komersial. Bukan sekedar mencari keuntungan, namun juga untuk mengembalikan sagu sebagai tuan dalam tanah kampungnya sendiri.
“Kondisinya saat ini kita tidak makan sagu sebenarnya, oleh karena itu kita coba kembalikan,” kata Adriana dalam diskusi Konsorsium Pangan Lokal: LSDAYAK-21, ELPAM & TFLC, dan WWF Indonesia, Sabtu (26/11).
Kerinduan akan sagu supaya hadir dalam meja makan tiap keluarga bukan sebuah cita-cita tinggi sebenarnya di Bumi Cendrawasih. Namun, kota besar seperti Merauke, kini dinobatkan sebagai lumbung padi, rupanya dapat menggeser menu meja makan.
Beras menjadi nasi, adalah situasi yang kini lazim terlihat dalam kudapan di Papua. Sayangnya, sagu semakin tergeser dengan makanan nasional lainnya, seakan identitas Papua juga luntur.