Momentum hari kasih sayang yang jatuh pada 14 Februari hampir selalu dikaitkan dengan pemberian cokelat pada orang tersayang.
Barangkali Santo Valentine tak pernah menyangka, jika efek kematiannya yang tragis, justru diperingati sebagai hari penuh romantisme. Sayangnya seiring perkembangan waktu, Valentine tak hanya ditahbiskan sebagai hari kasih sayang. Itu hanya dimanfaatkan korporasi cokelat untuk memasarkan produknya, dengan segala semiotika yang jitu.
Sejarah Valentine sendiri tak bisa dilepaskan dari tiga santo yang menjadi martir pada era Gereja Katolik. Ketiganya dihukum lantaran memperjuangkan cinta dengan caranya masing-masing. Namun narasi terkuat yang dihubungkan dengan momentum 14 Februari adalah uskup Valentine dari Terni, Italia. Dia dihukum setelah membangkang pada aturan Kaisar Romawi Claudius II, tentang larangan pernikahan muda-mudi setempat.
Claudius menilai, pernikahan dini hanya menjadi beban bagi mereka yang berjuang di garda depan membela negara. Alhasil, kaisar yang lahir pada 210 SM ini menggulirkan dekrit bahwa tentara lajang jauh lebih baik, karena bisa fokus berperang.
Memberontak terhadap aturan ini, Valentine nekat menikahkan tentara dengan kekasihnya diam-diam. Dalam versi lain, dia juga menikahkan pasangan Kristen dan mengenalkan Kristus yang sarat kasih sayang, pada Claudius II. Merasa terhina, Valentine dieksekusi mati dengan cara dipenggal di Flaminian pada 269.