Infografis

Agar demokrasi tak kebablasan

Transisi reformasi yang begitu cepat, membuat masyarakat gagap dalam proses demokrasi.

Jumat, 21 September 2018 17:25

Senjakala demokrasi menurut Levitsky dan Ziblatt sudah dimulai sejak kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) AS. Dikutip dari bukunya “How Democracies Die” (2018), mereka menguraikan empat ciri demokrasi yang berubah menjadi sistem pemerintahan diktator. Serangan atas media, mengancam tidak akan mengakui hasil pemilihan umum (pemilu), menuduh saingan politik sebagai penjahat, dan pembiaran atas kekerasan, menjadi petunjuk terang ciri otoritarisme.

Saat di AS, timbul kecemasan tentang kematian demokrasi, lantas bagaimana dengan kondisi demokrasi di Indonesia?

Indonesia sejak 1998 memang membuka keran kebebasan lewat reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa dan kelompok masyarakat pro demokrasi lainnya. Selama transisi itu, BJ Habibie otomatis naik menggantikan Soeharto. Namun, sayang, menurut staf pengajar politik Universitas Indonesia Isbodroini Suyanto, proses transisi tak berjalan mulus.

“Semua dilakukan dengan tergesa, tak pelan-pelan. Militer langsung dikembalikan ke rumah, pers dibuka seluas-luasnya, semua orang diberi kebebasan,” ujarnya pada saya.

Hal ini membuat masyarakat Indonesia jadi gagap. Terbelenggu tirani selama 32 tahun, sambung Is, membutuhkan sejumlah penyesuaian. Tak bisa langsung spontan menjadi negara demokratis konstitusional yang paripurna.

Purnama Ayu Rizky Reporter
Purnama Ayu Rizky Editor

Tag Terkait

Berita Terkait