Bambu sudah sejak lama dimanfaatkan dalam kehidupan manusia, termasuk untuk memitigasi perubahan iklim.
Bambu (bambusoideae) menjadi komoditas yang sudah digunakan sebagai bahan konstruksi sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Bambu bisa dijadikan bahan kontruksi maupun beragam kerajinan tangan bernilai estetik. Namun, lebih dari itu bambu ternyata juga bisa sebagai sarana mitigasi dampak perubahan iklim dan mencapai target netral karbon.
Untuk mengarah ke sana, Indonesia nampaknya masih harus melalui jalan panjang. Meski memiliki jenis bambu terbanyak ketiga di dunia, namun dari segi pasokan dan pengolahan bambu sebagai barang jadi untuk dijual, Indonesia masih jauh tertinggal dari China. Bahkan, dua negara di Asia Tenggara, Filipina dan Vietnam jauh lebih unggul dalam memanfaatkan bambu sebagai produk olahan.
Direktur Eksekutif YBL Monica Tanuhandaru bilang, hal ini diakibatkan oleh pasokan bambu yang sudah mulai menipis. Menurut data, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengadopsi data Food and Agriculture Organization (FAO), setidaknya ada 1 juta ha lahan bambu di tanah air. Sayangnya, data ini masih belum pasti karena sampai saat ini belum ada data persis berapa banyak batang bambu dan luasan lahan bambu di Indonesia.
Namun yang pasti, untuk mencukupi kebutuhan produksi produk bambu berkelanjutan sekaligus mencapai target netral karbon, jumlah bambu yang banyak ini harus diperbanyak lagi.
“Waktu pembangunan tol Semarang-Demak butuh bambu sebanyak 9 juta lonjor. Kita enggak ada. Kalau kita bicara IKM (Industri Kecil dan Menengah), untuk pembangunan gerainya di seluruh Pulau Jawa, perlu sekitar 600-700 ribu ha bambu timber, ini sebenarnya bisa kita lakukan karena lahan kritis banyak,” jelasnya dalam diskusi Peran Bambu untuk Mengatasi Krisis Iklim, Rabu (8/2).