Selain kritik yang terkesan dipaksakan, tidak ada kedalaman karakter dari tokoh Indro dan Al.
Selain kritik yang terkesan dipaksakan, tidak ada kedalaman karakter dari tokoh Indro dan Al. Mereka berdua hadir di sepanjang film, tapi datar tanpa emosi, tanpa konflik. Yang berkonflik justru orang-orang di sekitar mereka. Sedangkan mereka bak orang bijak yang menjadi penengah konflik.
Terlalu banyak pemeran pembantu yang muncul dalam film ini, tanpa bisa memberikan kedalaman cerita. Mereka muncul hanya untuk membuat kedua tokoh utama terlihat bijak, menyampaikan pesan perdamaian, dengan usaha yang tak maksimal.
Dialog yang ada di film ini pun membuat saya mengernyitkan dahi beberapa kali untuk mencernanya. Misalnya, dalam adegan anak Indro yang terbangun. Anaknya bertanya, mengapa alien naik bemo? Indro menjawab, “Karena semua sama di mata hukum.” Dialog yang tidak nyambung, terkesan ingin terlihat seolah-olah bijak.
Pengambilan gambar yang berpindah-pindah, dari cerita Indro dan kembali ke rumah bersama istrinya, juga bukannya tanpa cacat. Ketika adegan kembali bersama istrinya, Mieke Amalia, hanya mengeluarkan kalimat repetitif. Jika tidak berkata “absurd,” atau “terus lanjutannya gimana?” maka bisa dipastikan Mieke akan berkomentar “Gila lu Ndro!”