Perhitungan garis kemiskinan bank dunia dan Badan Pusat Statistik berbeda.
Angka garis kemiskinan perlu senantiasa dimuktahirkan. Alasannya, selain karena sudah tidak lagi relevan, hal ini penting untuk mengungkap penduduk miskin yang tersembunyi. Baik Bank Dunia maupun Badan Pusat Statistik (BPS) sepakat, tingkat kemiskinan ekstrem di tanah air memang terus menyusut. Namun, di saat yang sama jumlah penduduk rentan miskin dan dari kelompok menuju kelas menengah masih banyak.
Bank Dunia dalam laporan yang bertajuk Aspiring Indonesia – Expanding the Middle Class menyebutkan, ada 114,7 juta orang yang menuju kelas menengah dan 61,6 juta orang termasuk kategori kelompok rentan. Dalam klasifikasi ini, Bank Dunia mendefinisikan penduduk rentan sebagai kelompok masyarakat dengan pengeluaran Rp354.000-Rp532.000 per orang per bulan, sedangkan kelompok menuju kelas menengah Rp532.000-Rp1,2 juta per orang per bulan.
Dengan kondisi ini, angka kemiskinan hasil garis kemiskinan anyar berguna untuk menyusun kebijakan dan rencana pembangunan nasional, yang termasuk strategi penanggulangan kemiskinan, menetapkan sasaran berbasis lokasi geografis maupun individu dan rumah tangga sasaran program pembangunan, serta menentukan alokasi program penanggulangan kemiskinan. Selanjutnya, bisa juga untuk memantau dan mengevaluasi program pembangunan, termasuk pencapaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah/Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN/RPJPN) dan SDGs.
“Pada akhirnya, metodologi penghitungan yang baru, garis kemiskinan yang lebih luas diharapkan dapat memunculkan kebijakan-kebijakan yang mampu menurunkan angka kemiskinan ekstrem dan menjaga agar masyarakat rentan tidak jatuh miskin,” kata Direktur The SMERU Research Institute Asep Suryahadi, saat dihubungi Alinea.id, Senin (5/6).