Karbon biru menjadi cadangan emisi karbon melalui ekosistem pesisir dan laut.
Pemerintah telah menyusun kerangka kerja strategi karbon biru Indonesia (Indonesia Blue Carbon Strategy Framework). Di mana dalam kerangka kerja ini terdapat beberapa agenda nasional, antara lain memetakan ekosistem karbon biru, penghitungan cadangan karbon biru, membahas kesiapan perdagangan karbon, serta penghidupan masyarakat pesisir.
“Kita juga baru saja menandatangani kesepakatan dengan WEF (World Economic Forum) di Davos untuk membentuk NBACAP (National Blue Carbon Action Partnership), tujuannya untuk mempercepat implementasi blue carbon di Indonesia,” kata Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Nani Hendiarti kepada Alinea.id, Kamis (4/5).
Selanjutnya, pemerintah juga telah membentuk Kelompok Kerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional (KKMN) berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Kepmenko Marinves) Nomor 88/2022. Kelompok kerja ini melibatkan beberapa kementerian, seperti Kemenko Marves, KLHK, KKP, Kementerian ATR/BPN, Kementerian PPN/Bappenas, Kemendes PDTT, dan BRGM.
Potensi Karbon di Indonesia memang sangat besar, pun dengan tantangan untuk mengimplementasikannya. Apalagi, pemerintah menargetkan pada tahun 2030 nanti berdasarkan FOLU Net Sink, lahan-lahan di tanah air, termasuk lahan basah yang terletak di pesisir tidak lagi menghasilkan emisi, selain juga untuk mencapai target NDC dan SDG (Sustainable Development Goals).
“Sebagai contoh saja, mangrove itu dalam NDC belum masuk dalam rencana strategi mitigasi (perubahan iklim), tapi dalam enhanced NDC sudah masuk, meskipun baru land use saja. Padahal yang banyak (cadangan karbon) ada di dalam tanah. Jadi seharusnya nanti di dokumen setelah NDC mungkin bisa dimasukkan,” ujar Peneliti CIFOR Daniel Murdiyarso, kepada Alinea.id, Jumat (5/5).