Sejumlah perempuan di berbagai kota bersuara soal pelecehan seksual yang mereka alami saat naik Grab.
Saya mewawancarai tiga perempuan yang aktif dalam isu-isu perempuan terkait tindak pelecehan seksual tersebut. Ada Olin Monteiro, aktivis perempuan dari Jakarta Feminist Group Discussion (JFDG), Anindya Vivi dari Hollaback Jakarta, sebuah ruang untuk berbagi cerita pelecehan seksual, serta Anita Dhewy, Pemimpin Redaksi (Pemred) Jurnal Perempuan.
Merespons keterangan manajemen Grab, Olin menyesalkan upaya penanganan dari perusahaan asal Negeri Jiran itu.
“Grab tidak bisa sekadar meminta penyintas untuk datang lalu ngomong pelecehan yang ia alami. Mereka mungkin berada dalam kondisi trauma sehingga perlu mendapat pendampingan konseling yang komprehensif. Korban hanya bisa berbicara pada waktunya, ketika mereka sudah siap berbicara,” ujarnya.
Sementara Anita berkomentar, respons Grab mempertemuan korban dengan pelaku yang pernah diusulkan belakangan menjadi bukti sesat pikir. Bukan tindakan tepat mempertemuan penyintas yang menderita trauma, sehingga dikhawatirkan bisa memperparah kondisi psikologisnya.
Anindya Vivi di sisi lain menuturkan, sanksi penangguhan sopir sebagai upaya yang tak akan cukup menghentikan perilaku pelecehan itu. Menurut perempuan asal Semarang ini, pihak Grab tentu mengantongi data lengkap karena laporan indikasi pelecehan membanjir dalam setahun belakangan. Sayang, Grab dianggap kurang terbuka dengan data itu.