Jika tidak ada perubahan strategi dan perbaikan kebijakan, bukan mustahil bakal terjadi krisis sapi pedaging pada 2022-2023.
Masalah kembali berulang: harga daging sapi melonjak tinggi. Jika di awal 2021 sempat diwarnai pedagang mogok jualan, kali ini mereka tetap berjualan dengan menggerutu. Pasalnya, momentum Ramadan yang mestinya “panen rezeki” justru tidak terjadi. Konsumen menahan membeli daging sapi karena harga terus meroket. Lebih-lebih saat menuju Idulfitri. Ini terjadi karena pasokan sapi pedaging yang berasal dari impor, terutama dalam bentuk sapi bakalan, tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya.
Selama ini daging sapi, baik daging beku maupun sapi bakalan, mayoritas dipasok dari Australia. Letak geografis yang dekat dengan Indonesia membuat harga daging dari Australia lebih kompetitif ketimbang dari negara lain. Masalahnya, dua tahun terakhir Australia dilanda bencana: banjir bandang pada 2019 dan kebakaran hutan pada 2020. Ini membuat kinerja industri peternakan Australia merosot drastis. Populasi sapi menurun signifikan: dari sebesar 27,8 juta ekor pada 2002 tinggal 21,1 juta ekor (menurun 24,1%).
Sejak 2020 Australia mengurangi ekspor sapi. Negara itu perlu memulihkan populasi sapinya ke level ideal. Mengikuti hukum pasokan-permintaan, saat pasokan terbatas dengan permintaan tetap, harga sapi naik drastis. Sejak impor sapi dari Australia di awal 1990-an, baru kali ini harga sapi impor menyentuh Rp56 ribuan/kg berat hidup (landed cost), lebih mahal dari harga sapi lokal (Rp47 ribuan/kg berat hidup). Pebisnis penggemukan sapi (feedloter) tak mungkin berharap dapat sapi bakalan dari Australia.
Ada gagasan mendiversifikasi pasokan sapi impor. Menteri Negara BUMN Erick Thohir melirik Belgia. Bahkan, Erick melontarkan ide membeli peternakan sapi di negara itu. Masalahnya, lokasi yang jauh membuat ongkos angkut mahal. Selain itu, populasi ternak keluarga sapi/lembu di Belgia pun terbatas. Produksi ternak jenis bovine (keluarga sapi/lembu) di Belgia pada 2019 hanya 2,37 juta ekor (posisi 10 dunia). Produksi jenis cattle (lembu) pada 2019, menurut USDA, pun terbatas. Belgia bukan eksportir penting.
Mau tidak mau, pengusaha feedloter kemungkinan besar akan menggantungkan pada sapi bakalan lokal. Karena permintaan jauh lebih besar dari pasokan sapi bakalan, ini dikhawatirkan bakal menguras sumber daya sapi lokal seperti 2012-2013. Yakin populasi sapi siap potong cukup, yakni 14,8 juta ekor pada 2011, secara bertahap kuota impor daging dipangkas: 35% dari kebutuhan pada 2011 menjadi 15,5% pada 2012, dan tinggal 13,4% pada 2013. Rupanya, populasi sapi siap potong tidak seperti yang diyakini.