Efektifitas boikot tergantung pada dua hal, yakni tujuan dari boikot itu dan variabel pengaruhnya.
Prancis khususnya Presiden Emmanuel Macron tengah dikecam keras oleh umat muslim sedunia. Ini akibat dari pernyataannya yang dinilai menyudutkan Islam menyusul peristiwa pembunuhan seorang guru sejarah oleh remaja 18 tahun asal Chechnya.
Asosiasi dagang negara-negara Arab kompak menyerukan aksi boikot terhadap produk-produk Prancis. Pemerintah Turki melalui Presiden Recep Tayyip Erdogan meminta negara-negara muslim untuk tidak membeli barang-barang impor dari Prancis.
Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia tak ketinggalan memberikan respons. Presiden Joko Widodo dalam pernyataannya mengataka,n Indonesia mengecam keras Emmanuel Macron atas pernyataan kontroversialnya. Namun sejauh ini pemerintah Indonesia tidak secara resmi memberlakukan boikot terhadap produk Prancis. Seruan boikot justru datang dari kelompok-kelompok masyarakat khususnya ormas-ormas Islam.
Tulisan ini tidak berpretensi larut dalam perdebatan seputar kontroversi pernyataan Macron terkait karikatur Nabi Muhammad. Perdebatan seperti itu rentan terjebak pada bias teologis, ideologis, dan politis yang tentu amat relatif antara satu orang dan orang lainnya. Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan di tataran yang lebih praktis yaitu apakah aksi boikot terhadap Prancis efektif? Dengan kata lain, apakah boikot itu mampu mengubah sikap Prancis?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama kita perlu memahami apa itu boikot. Boikot termasuk salah satu bentuk sanksi ekonomi sebagai suatu strategi untuk mengubah kebijakan negara lain dengan instrumen ekonomi. Artinya, ekonomi adalah alat sedangkan tujuannya bersifat politis. Istilah ‘boikot’ diambil dari nama seorang tuan tanah di Mayo Irlandia bernama Charles Boycott yang pada abad-19 menerapkan sewa tanah tak berperikemanusiaan sehingga memicu kemarahan para petani miskin di daerah itu dengan menolak memanen untuknya (Simmons, 1999).