Kalangan santri juga sadar dan punya kalkulasi politik sendiri dan mereka tidak lagi mau hanya dimobilisasi mendukung kandidat tertentu
Dalam setiap hajatan pemilu suara kalangan santri selalu menjadi rebutan, mulai dari kontestasi tingkat lokal sampai pada level nasioanal. Para politisi sangat faham akan keberadaan kaum santri yang secara proporsi sangat besar dan akan sangat mempengaruhi peta politik, sehingga dukungan dari segmen ini memberi kontribusi yang sangat besar terhadap tingkat keterpilihan mereka.
Secara kultural para santi sangat manut, taat dan patuh pada titah para kiai yang meraka anggap sebagai pemimpin dan guru mereka. Ketaatan para santri ini menjadikan pola kepemimipinan dalam pesantern menjadi Paternalistik dimana pengaruh kepemimpinan (kiai) mempunyai legitimasi dan penerimaan yang sangat kuat dan pemimpin diaanggap sebagai pelindung yang dapat mengayomi layaknya seorang bapak terhadap anak-anaknya. Sehingga untuk mendapatkan dukungan politik dari kalangan satri para politisi mutlak harus melakukan pendekatan yang intens pada para kiai sebagai pemengang otoritas di pesantren.
Kuatnya pengaruh para kiai tidak hanya terpaku pada pesantren tempat mereka mengembangkan pendidikan, namun juga meluas pada lingkup masyarakat tempat mereka tinggal. Dengan kata lain kiai punya basis massa potensial yang akan sangat menguntungkan jika mereka mengarahkan danmemberikan dukngannya pada salah satu kandidat atau partai tertentu.
Para palaku politik tentu sangat menyadari situasi ini, kiai menjadi magnet elektoral (vote getter) yang memberikan dampak sangat signifikan terhadap perolehan suara dalam pemilu. Maka tidak heran dalam setiap hajatan politik kiai dan santri akan selalu mendapat kunjungan dan safari politik dalam bungkus silaturrahmi oleh elit politik dan para politisi.
Kunjungan dan safari politik ini tidak bisa terbantahkan punya motif untuk melakukan pendekatan dan mencari simpati dari kiai dan santri dalam rangka memuluskan langkah politik dan mendapatkan dukungan dari para kiai.