Walaupun kita belum bisa membayangkan akhir peperangan melawan corona, tetapi kita harus bertempur dengan cara terbaik.
Berperang melawan pandemi, Presiden Jokowi harus menghindar jauh-jauh dari kebijakan populis, yang mendorong optimisme palsu. Alih-alih fokus ke melawan coronavirus, presiden malah dapat terjebak untuk lebih berfokus kepasa emosi publik. Untuk tetap fokus kepada masalah, presiden membutuhkan dua sekutu utama dalam bertempur melawan pandemi, yaitu tenaga kesehatan dan ilmuwan.
Jika tenaga kesehatan bertempur di medan perang, maka ilmuwan merencanakan strategi perang. Kehadiran ilmuwan dibutuhkan untuk merancang strategi khusus melawan Covid-19 sebagai musuh bersama yang memiliki kemampuan bertumbuh cepat (eksponensial) yang tidak tidak kasat mata. Jadi presiden Jokowi dan tim harus bersekutu dengan ilmuwan memanfaatkan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Kebijakan berbasis bukti telah lama digunakan untuk merancang strategi yang tepat melawan pandemi (epidemi) dan beberapa strategi tersebut telah menjadi best practice.
Best practice
Singapura menemukan pandemi Covid-19 memiliki gejala yang mirip dengan wabah SARS yang menimpa negeri tersebut di 2003. Gejala yang mirip sebagai berikut: pertama, perkembangan klinis penyakit tampak serupa dengan SARS di mana pasien mengalami pneumonia sekitar akhir minggu pertama hingga awal minggu kedua. Kedua, infeksi simtomatik pada anak-anak jarang terjadi dan pada tiga kasus yang dikonfirmasi masih sangat muda (usia 6 bulan, 1 tahun, dan 2 tahun), gejalanya sangat ringan. Gejala SARS mirip dengan yang terjadi di China baru-baru ini. Bedanya, infeksi Covid-19 memiliki spektrum tingkat keparahan yang lebih luas, mulai dari tanpa gejala hingga gejala ringan hingga penyakit parah yang memerlukan ventilasi mekanis.
Belajar dari pengalaman menghadapi SARS, Singapura berhasil menerapkan standar tinggi dalam perang melawan Covid-19. Beberapa tindakan tersebut dianggap sebagai best practice, antara lain melakukan (1) pemetaan rute transmisi Covid-19, (2) diagnosa cepat dan handal, (3) penetapan kriteria klinis untuk klasifikasi pasien, (4) perawatan klinis yang lebih tepat, (5) komunikasi pro aktif di media sosial, (6) dukungan kepada petugas kesehatan, dan (7) pengembangan vaksin (Wong dkk., 2020 JAMA; Navarro, 28/02/2020 www.asianscientist.com).