Bagi warga miskin, termasuk mereka di atas garis kemiskinan, mengonsumsi protein hewani, sayur, dan buah adalah sebuah kemewahan.
Indonesia bukan Amerika atau Eropa yang miskin keanekaragaman hayati. Berada di wilayah tropis dengan siklus iklim panas, lembab, basah, dan matahari sepanjang tahun sejatinya sifat intrinsik alam tropis Indonesia adalah keanekaragaman spesies flora dan fauna yang tinggi per satuan luas atau waktu. Sayangnya, akibat pola monokultur dalam produksi dan budaya konsumsi membuat sistem ekologis penopang keanekaragaman hayati mengalami erosi luar biasa. Bahkan, ironisnya, diikuti kerusakan lingkungan pula.
Dalam banyak publikasi disebutkan bahwa Indonesia kaya plasma nuftah, yakni nomor dua dunia setelah Brazil. Bahkan, diyakini Indonesia berada di nomor pertama bila plasma nutfah laut diperhitungkan. Indonesia punya 77 jenis kabohidrat yang berpotensi sebagai sumber pangan, baik dari serealias (padi, jagung, sorgum, jali, hotong, jewawut), umbi-umbian (singkong, ubi jalar, ganyong, talas, gembili, garut, gadung), sagu, dan buah (sukun, pisang, labu). Ketika dicek, pola diet tak kompatibel dengan potensi. Pada 2018, sebesar 65,7% asupan energi warga hanya dari tiga serealia: beras, gandum, dan jagung. Dari tiga itu, beras mendominasi (lebih dari 80%) dengan 97,1 kg/kapita/tahun.
Bagi Indonesia, ketergantungan (tinggi) pangan hanya dari secuil spesies tanaman atau hewan boleh dibilang sebagai tragedi. Sistem produksi dan budaya pangan seperti ini amat rapuh dan rentan. Jika terjadi gangguan pada sistem produksi dan distribusi, beras misalnya, dampaknya akan serius. Terutama di wilayah bukan produsen. Sistem produksi dan budaya pangan seperti ini juga tidak berkelanjutan. Ketika terjadi guncangan (shock) dari luar, apakah karena krisis, resesi atau pandemi, sistem tidak mudah dipulihkan.
Apabila indikator Global Hunger Index (GHI) digunakan sebagai ukuran kualitas budaya makan, didapatkan tingkat kelaparan di Indonesia pada 2022 tergolong moderat. Ada sedikit perbaikan dari sebelumnya: kelaparan serius. Namun demikian, bila ditarik garis linier dengan asumsi kecepatan penurunan GHI Indonesia tahun 2000-2022 berlaku, Indonesia baru mencapai indeks GHI sama dengan <5, nilai GHI negara maju, pada 75 tahun yang akan datang. Padahal, pada 2045 telah digaungkan capaian Indonesia emas.
GHI merupakan indeks gabungan dari elemen tingkat kematian balita, anak balita tengkes (stunting), anak balita kurus kering (child wasting), dan kekurangan gizi. Capaian GHI pada 2022 menggambarkan bahwa budaya makan warga Indonesia menghasilkan tingkat kematian balita 2,3%, balita tengkes 30,8%, balita kurus kering 10,2%, dan kekurangan gizi 6,5%. Ini penting diangkat ke tataran budaya makan karena sejak 2018 ada 15 negara berkembang memiliki GHI setara negara maju. Salah satunya Ukraina, yang pada 2020 pendapatan per kapita (nominal) di bawah Indonesia (Pakpahan, 2021).