Situasi ini meneruskan betapa seringnya gonta-ganti istilah-hingga terutama akhirnya membingungkan masyarakat.
Akhir Maret lalu, tepatnya Jumat (26/3), Menko Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengumumkan larangan mudik bagi ASN, TNI-Polri, karyawan BUMN, karyawan swasta, pekerja mandiri, hingga seluruh masyarakat.
Akan tetapi, sebagaimana kita saksikan bersama pada musim Lebaran 2020 lalu, keputusan tersebut seolah bersayap. Jika 2020 dilarang mudik tetapi pulang kampung boleh, maka tahun ini disertai istilah pengecualian larang mudik bagi yang mendesak (urgen). Tambah mumet lagi, karena Menko PMK lalu menyebutkan, setelah ditemui Menteri Pariwisata, masyarakat tidak boleh mudik tetapi boleh ke objek wisata selama libur lebaran. Muncul-lah sindiran: Tidak mudik, tetapi pulang kampung ke objek wisata!
Semua rangkaian itu, dalam perspektif public relations, klausul pengecualian tersebut diumumkan dalam press conference tanpa ada kriteria detail urgensi. Urgensi diserahkan pada instansi dan atau lembaga tempat seseorang bekerja. Informasi yang relatif dibutuhkan banyak orang ini tidak diputuskan matang di awal, sehingga sebagaimana musim Mudik 2020, penafsiran orang di lapangan bisa berbeda-beda tergantung kepentingannya.
Di mata penulis, situasi ini meneruskan betapa seringnya gonta-ganti istilah-hingga terutama akhirnya membingungkan masyarakat-yang disampaikan banyak komunikator pemerintahan selama masa pandemi Corona awal Maret 2020 hingga sekarang.
Saat pagebluk pertama menyeruak, manakala press conference rutin diadakan tiap sore oleh Juru Bicara saat itu, Achmad Yurianto (saat itu Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI), taburan istilah kesehatan dimulai.