Samakah iktikad pemerintah hari ini yang menerbitkan daftar 200 mubalig dengan fenomena surat izin mubalig (SIM) era Orba?
*Penulis dan penikmat sastra
Nama lengkap almarhum ayah, Mohammad Adnan Amin. Selain hafal dari kartu tanda penduduk (KTP) yang sering tergeletak di atas meja sudut kamar, masa kecilku juga diwarnai hobi mengacak-acak tumpukan kitab kuning yang sebelumnya sudah diatur rapi. Di sela-sela halaman yang kubuka, sering kupergoki pula nama yang sama tertera dalam lembar putih berukuran A4 dengan judul surat izin mubalig (SIM).
Surat itu dikeluarkan oleh camat setempat, bertiti-mangsa tahun 1989. Setelah dewasa, saya baru paham, nun jauh di masa Orde Baru (Orba) segala yang ada merasa penting untuk "ditertibkan", termasuk para dai, kiai, ulama, pers, bahkan pekerja seni.
Khusus surat bergambar ayah muda itu, nyaris tak pernah digunakan pemiliknya. Pernah sekali waktu ayah bilang, disimpan bukan lantaran bangga, cukup jadi pengingat dan bukti sejarah.
Bocah ingusan usia di bawah sepuluh tahun tentu kesulitan menerjemahkan maksud kata-kata tersebut. Belakangan baru kembali terkenang, ketika publik digegerkan dengan pro-kontra rekomendasi 200 penceramah yang dirilis Kementerian Agama (Kemenag).