Ibadah kurban tahun ini idealnya bisa menjadi momentum bersama untuk membunuh egoisme dan pragmatisme.
Arah perkembangan ekonomi, politik, sosial dan budaya kita belakangan ini kian menuju pada pengejawantahan paham individualisme dan pragmatisme. Nyaris semua orang berlomba menjadi yang paling kaya, paling berkuasa, paling berpengaruh dan sejenisnya. Kecenderungan itulah yang tanpa disadari kian menggerus nilai-nilai kemanusiaan.
Hilangnya tiga nilai tersebut lantas kian mengukuhkan ujaran Thomas Hobbes tentang leviathanisme, yakni ketika manusia saling memangsa satu sama lain karena ambisi dan keserakahan. Metafora leviathanisme dapat dengan mudah kita jumpai dalam kehidupan masyarakat Indonesia belakangan ini.
Di bidang politik, leviathanisme mewujud ke dalam perilaku para politisi berkarakter Machiavellian yang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Mereka mengeksploitasi sentimen identitas, mengobarkan kebencian sampai menebar fitnah demi menjatuhkan lawan politik. Akibatnya, masyarakat di evel akar rumput pun terpecah belah tak keruan.
Di bidang ekonomi, leviathanisme terrepresentasikan ke dalam persaingan ekonomi yang nyaris bebas tanpa aturan. Para pemain besar, terutama korporasi raksasa menguasai sebagian besar kekayaan alam; mengeksploitasinya dan menikmati keuntungannya untuk kepentingan pribadi.
Dalam konteks sosial-budaya, leviathanisme termanifestasikan jelas ke dalam hilangnya tradisi saling peduli serta terkikisnya sikap welas asih. Lima tahun terakhir ini boleh jadi adalah titik nadir perjalanan kita sebagai sebuah bangsa. Kontestasi politik berbalut sentimen keagamaan telah memecah belah bangsa dan menjadikan kita sebagai bangsa yang kehilangan nilai keadaban (civility).