Kolom

Efek domino ‘tebu wisata’

Praktik “tebu wisata” sudah ada sejak 1990-an.

Jumat, 16 Oktober 2020 15:47

Musim giling tebu tahun ini berlangsung dalam suasana muram. Bukan hanya karena pandemi Covid-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya, persaingan membeli bahan baku tebu dari petani membuat banyak pabrik gula (PG) kelimpungan.

Salah satu akibatnya, PG yang biasanya giling tebu sekira 150-an hari atau lima bulan, kali ini harus mengakhiri giling lebih awal. Bahkan, pada 14 Agustus 2020, sudah ada PG yang tutup, yakni PG Lestari di Nganjuk, Jawa Timur. Artinya, masa giling PG ini tak sampai tiga bulan. Saat artikel ini ditulis, boleh jadi sudah puluhan PG yang tutup giling. PG tutup giling lebih awal merupakan sinyal ada sesuatu yang serius yang mengancam industri pergulaan.

Seperti usaha lain, PG memiliki “rumus baku” yang harus dipenuhi, yakni kapasitas operasional minimal. Agar tetap eksis dan bisa membiayai overhead (biaya operasional, terutama gaji karyawan) selama setahun, PG harus giling minimal 5 bulan. Kurang dari itu, PG bakal merugi. “Rumus baku” ini terutama berlaku untuk PG-PG BUMN di Jawa yang absolete, bermesin tua, dan berkapasitas giling kecil. Di PG-PG ini, mesin hanya beroperasi lima bulan. Selebihnya, PG menganggur dan dirawat sebagian kecil karyawan. 

Sebaliknya, PG swasta, terutama yang ada di Lampung, bisa beroperasi sepanjang tahun. PG-PG swasta ini teknologinya baru, kapasitas gilingnya besar, dan ditopang lahan sendiri dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU). Penyatuan manajemen di lahan dengan di pabrik membuat PG mudah mengintegrasikan aktivitas tanam, tebang, angkut, dan giling untuk mencapai efisiensi, produktivitas, dan rendemen tinggi. Produksi utama PG masih berwujud gula, tetapi bukan satu-satunya. Sebaliknya, produk utama PG BUMN, ya gula. 

Berbeda dengan PG swasta di Lampung, PG-PG BUMN di Jawa rerata tidak memiliki lahan sendiri. Mereka menggantungkan bahan baku tebu dari petani. Relasi petani-PG diikat lewat sistem bagi hasil, yakni PG mendapat 34% gula sebagai upah giling, 66% sisanya milik petani. Petani juga mendapat tetes 3 kg/kwintal tebu. Besar-kecilnya gula yang diterima petani tergantung bobot tebu dan rendemen. Kian besar bobot tebu dan rendemen, kian besar gula yang diterima petani. Demikian pula sebaliknya. 

Khudori Reporter
Hermansah Editor

Tag Terkait

Berita Terkait