Kenapa Indonesia seperti terjebak pada 'kutukan' pertumbuhan yang cuma 5%?
Beberapa waktu lalu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis ekonomi kuartal III-2018 tumbuh 5,17%. Data itu juga menyebutkan kontribusi terbesar masih dari Jawa. Artinya, pertumbuhan ekonomi tidak merata.
Selama empat tahun terakhir, ekonomi mentok tumbuh di sekitar 5%. Tentu saja, ini jauh janji pasangan Jokowi-Jusuf Kalla saat kampanye Pilpres di 2014 silam. Keduanya, waktu itu, sesumbar bakal mendongkrak pertumbuhan ekonomi 7%.
Pertanyaannya, kenapa Indonesia seperti terjebak pada 'kutukan' pertumbuhan yang cuma 5%? Bukankah di sekeliling Jokowi berkumpul para menteri ekonomi yang jempolan? Bahkan, bukankah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kadung dianggap sebagai kampiun ekonomi dengan prestasi cemerlang sehingga diguyur berbagai penghargaan tingkat internasional?
Racun neolib
Tapi, tahukah anda, bahwa persoalannya justru ada pada orang-orang itu. Kalau saja tim ekonomi Jokowi bukanlah mereka, sangat boleh jadi target ekonomi tumbuh 7% per tahun yang dijanjikan bakal terwujud.
Para menteri ekonomi itu adalah para penganut dan pejuang paham neolib. Itulah sebabnya berbagai kebijakan ekonomi mereka selalu sarat dengan nilai-nilai dan paham neolib. Jangan tagih ekonomi kerakyatan, karena mereka memang tidak punya dan tidak mau. Buat orang-orang itu, pasar adalah segala-galanya. Serahkan segala sesuatunya kepada mekanisme pasar, maka kemakmuran dan pertumbuhan akan terjadi dengan sendirinya.