Di bangsa ini, pelanggaran HAM di masa lalu cukup banyak yang terjadi karena bentrok antara rakyat dengan militer.
Orde Baru tumbang beberapa tahun silam. Orde yang mengandalkan kekuatan militer untuk “menjaga” stabilitas negara itu jatuh oleh aksi massa yang digelar mahasiswa. Namun, dalam ketumbangannya, tak sedikit korban berjatuhan. Pun hingga kini, beberapa aktivis mahasiswa yang terlibat dalam aksi massa itu, tidak tahu di mana rimbanya.
Kamis, 31 Mei 2018, Presiden Joko Widodo menemui para orang tua dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serta para pegiat peserta aksi rutin Kamisan depan Istana. Aksi Kamisan adalah aksi damai sejak 18 Januari 2007 yang dilakukan oleh para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia korban seperti peristiwa 1965, Tragedi Trisakti dan Semanggi 1998, korban Tragedi Wasior-Wamena, dan lainnya (Alinea.Id, 30 Mei 2018).
Aksi Kamisan konsisten memperjuangkan ditegakkannya HAM. Baru-baru ini, pada 22 November 2018 mereka memberikan dukungan kepada mantan pegawai tata usaha SMA Negeri 7 Mataram Baiq Nuril yang dikriminalisasi akibat merekam telepon berisi pelecehan seksual.
Di bangsa ini, pelanggaran HAM di masa lalu cukup banyak yang terjadi karena bentrok antara rakyat dengan militer. Kekuatan militer memang ampuh membungkam musuh. Ancaman yang datang dari dalam maupun luar suatu negara pun bukanlah tugas yang ringan untuk dihadapi. Keutuhan berbangsa dan bernegara menjadi taruhannya.
Namun, benarkah kekuatan militer senantiasa mampu memadamkan gejolak? Dalam pengantar yang ditulisnya untuk buku Tentara dan Kaum Bersenjata (1999), Bambang Widjojanto menyampaikan pernyataan tentang peran tentara dalam hubungannya dengan gejolak di masyarakat: