Stabil dan berkecambahnya kemiskinan, serta kesenjangan di Indonesia sejak kolonialisme purba, bukan karena road map ekonomi yang salah.
Ini bukan doa. Bukan harapan. Tetapi kenyataan. Saat Covid melanda dunia, Indonesia tak bisa apa-apa. Obat tak punya. Apalagi vaksin. Adanya doa. Itupun tak khusuk. Hanya pencitraan saja. Bagian dari tipu sana, tipu sini agar dapat kursi.
Terkait hal di atas, Rene Descartes mempunyai tesis menarik, "memiliki pikiran cerdas dan cemerlang tidaklah cukup untuk hidup di alam raya ini, yang terpenting adalah bagaimana menggunakannya dengan baik dan menghasilkan ide-ide brilian yang bisa digunakan manusia setelahnya.”
Sayangnya kita tak punya keduanya. Otak yang jenius, absen. Penggunaan akal, defisit. Padahal, problem kita saat ini sangat banyak. Minimal ada sembilan hal: 1) invasi medis, 2) agresi digital, 3) eksploitasi ekonomi dan SDA, 4) infiltrasi budaya dan pendidikan, 5) konglomerasi kaum kaya yang sangat pelit, 6) pemerintahan yang lemah syahwat, tidak menolong, sarang KKN, menjadi bungker dan perkumpulan orang rakus plus gila dinasti, 7) rakyat miskin dan kurang literasi, 8) bencana alam dan, 9) perang nirmiliter.
Lebih parah dari sembilan problem di atas, kini kita punya elite yang tuna trobosan, defisit adab, tuna moral, tuna mental, buta sejarah, rabun konstitusi, budek kritik dan bisu realitas. Buktinya, kalau mereka ke luar negeri, mengutang. Kalau ada tamu, mengemis. Ke rakyat, menyekik. Itulah program hariannya.
Karenanya, saat problema tiba, yang dilakukan itu bukan menemukan solusi. Tetapi, menambah masalah. Bikin gaduh agar kursinya utuh dan bertambah. Sudah jelas Covid membunuh dan memakan kehidupan rakyat, yang dilakuan impor dan bisnis (rent seeking). Pemerintah tak membuat dan menemukan antivirusnya, vaksinnya apalagi perlindungan menyeluruh seperti perintah konstitusi.