Kolom

Islam kultural dan politik kebangsaan: Refleksi harlah NU ke-94 

NU tentu harus beradaptasi agar tetap relevan dengan semangat zaman dan berkontribusi nyata pada wacana keagamaan dan kebangsaan.

Selasa, 04 Februari 2020 17:52

Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di dunia dengan anggota lebih dari 80 juta jiwa adalah aset penting bagi Indonesia. Bagaimana tidak? Sejak awal berdiri pada 31 Januari 1926 hingga tahun ini memasuki usia ke-94, NU tetap setia NKRI dan Pancasila dari segenap ancaman. Sebagai organisasi yang memayungi berbagai macam kepentingan, NU tentu tidak lepas dari dinamika. Pasang-surut disertai gelombang ombak adalah hal yang lumrah bagi organisasi sebesar NU. 

Dalam perjalanannya, NU pernah menjadi partai politik, tepatnya dimulai pada 1952. Namun, kiprah NU menjadi partai politik itu ditentang banyak ulama dan kiai. Pada akhirnya, dorongan untuk kembali menjadi organisasi kemasyarakatan (jam’iyan diniyah ijtimaiyah) membuat NU hengkang dari panggung politik praktis. Pada Muktamar ke-27 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo pada1983, NU memutuskan untuk kembali ke khitah1926, yakni sebagai organisasi yang berorientasi pada keagamaan dan kemasyarakatan. 

Meski tidak lagi menjadi parpol, NU sebenarnya tidak pernah benar-benar lepas dari hiruk-pikuk politik praktis. Sebagai organisasi dengan pengikut puluhan juta jiwa, NU selalu menjadi ceruk yang diperebutkan parpol maupun elite politisi. Menjadi wajar jika hubungan NU dan pemerintah acapkali mengalami pasang-surut. Di satu waktu, NU tampak menjaga jarak dengan kekuasaan, namun di saat yang lain, NU juga bisa mesra dengan kekuasaan.

Meski demikian, komitmen NU terhadap bangsa dan negara Indonesia tidak perlu diragukan. Sepanjang 92 tahun keberadaannya, NU tetap setia menjadi pelindung NKRI dan Pancasila. Setidaknya ada dua sumbangan penting NU bagi Indonesia, yakni di bidang keagamaan dan kebangsaan.

Islam inklusif dan ramah tradisi lokal 

Siti Nurul Hidayah Reporter
Hermansah Editor

Tag Terkait

Berita Terkait