Kolom

Jangan anggap enteng krisis

Bisa dikatakan kebijakan-kebijakan ekonomi yang dijalankan tidak dapat mengatasi pelemahan nilai tukar tersebut.

Senin, 17 September 2018 19:25

Pelemahan nilai tukar sebenarnya sudah terjadi 4-5 tahun yang lalu. Tetapi praktis tidak ada upaya kebijakan yang signifikan dan cukup serius untuk menahan laju pelemahannya selama empat tahun terakhir ini. Atau bisa dikatakan kebijakan-kebijakan ekonomi yang dijalankan tidak dapat mengatasi pelemahan nilai tukar tersebut.

Nilai tukar terkuat 5 tahun lalu berada pada kisaran Rp9.000 per dollar AS dan sekarang mencapai Rp15.000 per dollar AS. Jadi kalau tidak diambil periode sepotong, maka pelemahan nilai tukar selama ini mencapai tidak kurang dari 60%. Data yang dipakai sepotong untuk memoleh pelemahan nilai tukar adalah 8% dihitung cuma beberapa bulan terakhir saja.

Praktek memoles data agar dilihat bagus oleh publik sudah terjadi secara terus-menerus. Sehingga lupa untuk membuat kebijakan makro yang nyata dan fokus pada masalah.  Pelemahan nilai tukar selama 4 tahun terakhir adalah pelemahan yang terjelek.  Tidak heran kalau Faisal Basri mengatakan rata-rata nilai tukar tahun ini adalah terburuk sepanjang sejarah nilai tukar selama ini.

Lalu muncul kontroversi mendadak tanpa melihat proses yang terjadi sebelumnya.  Kontroversi apakah Indonesia akan mengalami krisis seperti 1998 sangat mengemuka sebagai diskusi publik. Yang satu menganggap nilai tukar sudah masuk ke dalam kawah panas krisis seperti 1998, sementara ekstrim pihak satunya menganggap ekonomi baik-baik saja dan krisis tidak akan terjadi.  

Tetapi yang jelas  di dalam kontroversi tersebut terus keluar kampanye make up dan pencitraan terus-menerus tanpa mau fokus ke permasalahan sebenarnya. Pelemahan nilai tukar yang dalam sekitar 60% selama 4 tahun terakhir ini adalah tanda bahwa kebijakan makro tidak pruden, tetapi karena pencitraan publik melihat kebijakan yang ada begitu pruden.

Didik J Rachbini Reporter
Hermansah Editor

Tag Terkait

Berita Terkait